Aisyifa
Nur Laila adalah namaku. Leganya hatiku
bisa terbebas dari penjara yang bernama pesantren. Semua kulaui dengan damai
dan tentram. Duniaku seakan lebih indah. Ya kini aku tinggal di Jawa Tengah
bersama nenek yang memanjakanku. Tempat yang begitu indah dan sejuk. Hingga
suatu saat aku harus mengalami peristiwa yang ta’ tau harus dibilang baik atau
buruk untukku, mencintai kakak keponakanku. Mungkinkah kami dapat bersama
ataukah berpisah? Penasaran? Simak terus ceritanya ya…
khirnya!
Aku menyeret kardus terakhir yang
berisi buku-buku pelajaran. Setia Keringat yang mengalir deras di dahiku. Sejak
tadi pagi aku telah sibuk membereskan dan memindahkan barang dari satu tempat
ke tempat lainnya. And now, aku merasa lebih lega. Suasana kamarku telah
berubah lebih menyenangkan. Aku senang telah memilih nuansa biru muda untuk
kamarku ini, terasa lebih sejuk dan menyenangkan. Tempat tidur meja rias, rak
buku-buku…tapi sepertinya ada yang kurang. Aha! Dinding kamar , aku belum
menghiasinya.
Sambil menghela nafas kuseret kardus
yang berisikan kaligrafi-kaligrafi hasil karyaku. Kuambil kaligrafi yang
bertuliskan “Bismillahirrohma nirrohim”,
kaligrafi yang menjadi favoritku, yang membuatku menjadi juara 1 dalam lomba
kaligrafi yang cukup bergengsi. Mengingatnya membuatku tersenyum bangga.
Asyifa Nur laila, itulah nama yang
diberikan orang tuaku. Baru 2 hari ini aku menempati kamar ini, ya..di rumah
nenekku. Sebelumnya aku tinggal bersama orang tuaku. Abi adalah seorang ketua
di sebuah pesantren sedangkan Umi adalah ustadzah di pesantren tersebut. Jadi
tak heran kalau mereka disiplin sekali dalam masalah agama, bahkan terlalu berlebihan menurutku. Terkadang aku
bosan dengan agama. Pernah dulu aku mencoba melawan, alhasil aku diceramahi, di
dahlih selama berjam-jam dan akhirnya dikurung di gudang.
Huh!
But now I’am here. Di rumah nenek
yang akau sayangi.
“Syifa? tiba-tiba nenek memasuki
kamarku dan mengacaukan lamunanku.
“I…iya nek, ada apa?”
“Kok malah ngelamun, nenek dah siapin
makanan kesukaanmu. Ayo makan dulu!”
“Ntar dulu nek, nunggu selesai
beres-beres”
“Ya udah, nenek mau ke kebun nyusul
kakekmu.” My grandma berangkat menyusul sang suami dengan membawa rantang
makanan, yang aku pastikan isinya adalah nasi dan lauk. Hmm…so sweat, aku harap
di masa tua nanti aku dan suamiku bisa seperti mereka. He..he..he…(masih lama
pastinya).
Hari-hari ku lalui dengan santai ,
nggak sepadat dulu. Ya iyalah dulu hamper seluruh hari-hariku dipenuhi dengan
mengaji. Sekarang, nggak ada ngaji, tapi untuk sholat…I can’t forget! Ya
emangsih, agak molor.
Karena aku pindah tempat tinggal,
pastinya pindah sekolah juga dong. SMK Harapan Bangsa, karena dulu aku sekolah
di SMK nerusinnya juga di SMK. Suasana
sekolah ini ga’ jauh beda sama sekolahku dulu. Hanya saja, disini lebih
sejuk. Ya iya lah namanya juga di pegunungan, jadi banyak pohonnya. Untuk ke
sekolah aku diantar jemput sama om ku yang bisa dibilang galak banget.
Di sekolah ini juga aku mendapat
sahabat baru, Laras dan Haris. Mereka teman yang baik, pengertian, ramah, suka
menolong (Hayyo! Yang namnya Laras dan Haris jangan besar kepala ya!!!) apalagi
Laras, dia adalah satu-satunya tempat untuk mencurahkan semua problemku. Hingga
suatu hari, Haris menyatakan suatu hal yang ngga’ ku sangka.
“Fa, sebenarnya aku suka dan saying
sama kamu, maukah engkau menjadi orang yang special di di hidupku?”
Aku kaget setengah mati, bak
tersambar petir yang begitu dahsyat. Gimana ngga’, orang yang selam ini aku
anggap sebagai sahabat nyatain suka. Ck…ck…ck. Dengan ragu-ragu aku katakana.
“I’am Sorry, I can’t.”
Ragu-ragu bukan berarti aku suka sama
dia, aku Cuma takut kalau dia tersinggung. Aku kan ga’ punya perasaan apapun ke dia, lagian aku juga
tergolong masih kecil, belum cukup umur.
Mengalami hal tersebut, membuatku
teringat dulu. Saat aku sedang berbincang-bincang sama salah satu anak
pesantren (cowo’ pastinya). Tiba-tiba dia memanggil dan aku dimarahin
abis-abisan. Na’as banget ya nasibku, padahal aku Cuma ngobrolin masalah
sekolah.
Kembali ke sekarang, semenjak
peristiwa penolakan itu, Haris selalu menghindar dari aku. Setiap ngeliat aku,
dia selalu pergi menghindar. Sebenarnya aku ga’ pingin dia seperti ini, tapi
kalau emang dia maran dan benci ma aku “whatever-lah, emamng gw pikirin.”
Sebulan sudah aku tinggal di rumah
nenek dan 26 hari aku dan umat muslim lainnya menjalankan puasa. Bentar lagi
lebaran dan semua anak cucu nenek datang. Benar juga, keesokan harinya pa’dhe
Iman beserta anak istrinya datang. Mereka datang dengan membawa mobil yang
penuh bawaan dan oleh-oleh. Alhasil, aku ikut membantu.
“Syifa, gimana kabarnya? Bener kamu
tinggal di sini sekarang?” dengan logat sunda pa’dhe bertanya.
“Iya dhe. Alhamdulillah baik, pa’dhe
sendiri?”
“Baik, Umi sama Abimu kapan ke sini?”
“Mungkin 2-3 hari lagi. Lho budhe
Aminah ga’ bareng, tumben banget.”
“Iya, dia lagi ada pesenan roti
banyak banget. Mungkin besok dia datang naik travel”
Diantara anak-anak kakek nenek,
Pa’dhe Imanlah yang paling berhasil. Beliau menjadi PNS di bagian perpajakan.
Perbincangan kami berlangsung hangat, banyak sekali yang kami bicarakan.
Apalagi dengan mas Bagus, dia sepantaran denganku dan juga sekolah di SMK tapi
beda jurusan. Tak terasa malam telah larut, jadi kami memutuskan untuk
istirahat.
Keesokan harinya budhe Aminah datang
bersama salah satu anaknya, “Mas Irsyad.”
“Selamat datang budhe” sapaku
padanya.
“Hei! Irsyad bawa masuk semua
barang-barangnya”
“Ya Umi”
“Mbak Erni ga’ ikut budhe?”
“Ngga’, ga’ punya ongkos, lagian dia
lagi sibuk ngurusin kuliahnya.”
“O…gitu tho.”
Aku merasa aneh dan asing sekali
dengan Mas Irsyad. Maklumlah 8 tahun kita ga’ ketemu. Banyak hal yang berubah
darinya. Penampilannya tinggi, tambah putih.
“Mas, sekarang mas kelas berapa?”dengan
logat Sunda.
“Aku, dah ga’ sekolah.”
“Bo’ong.”
“Ih beneran, kamu ma ga’ percayaan.
Aku udah lulus”
“Mau nerusin kuliah ya”.
“Yup! Tahun depan.”
Ni orang, balik Tanya kek, masa dari
tadi aku yang Tanya. Dia pikir dia artis, yang sellau diwawancarai sana-sini.
Dasar sombong.
Pagi harinya, aku benar-benar bosan.
Ga’ ada yang bisa aku ajak ngobrol. Coba ada ngak Erni, pasti aku ga’ kesepian.
Semua orang pada sibuk ma urusan sendiri. Nenek, kakek, budhe, om dan anak-anak
cowo’ malah keasyikan main PS, sedangkan mbak Alya masih SD kelas 1 pula. Aku
heran kenapa mayoritas anak cowo’ suka main PS. Apa coba untungnya? Tambah
kaya? Tambah ganteng? Atau tambah pinter? Ngga’ deh, justru Cuma menghabiskan
waktu, tenaga plus uang.
“Irsyad! Main PS mulu dari tadi pagi
sampek sekarang ga’ berhenti-berhenti.”
“Kan hiburan Umi, disini suasananya
ngebosenin.”
“Umi ga’ perduli, matiin PSnya.” Lalu
menuju dapur.
“apa liat-liat! Ga’ pernah liat orang
ganteng.”
“PD banget, ganteng dar mana dari
utan.”
Sahutku dengan penuh emosi. Seenaknya
dia aja marah-marah ke aku. Dia piker siapa coba.
Selamat hari Lebaran, Minal aidin wal
fa’idzin. Lebaran telah tiba, keluarga besar kami saling bermaaf-maafan. Saling
memberi dan minta maaf. Termasuk akau. Tapi untuk minta maaf sama mas irsyad,
NO WAY!!! Harusnya dia yang minta maaf, ya ngga’??
Sehari setelah lebaran, semua sanak
famili kembali ke rumah. Leganya, aku bisa santai lagi dan tenang di rumah. Lho
bukannya itu mas Irsyad. Budhe Aminah kan udah kembali ke Bogor. Untuk
menghilangkan penasaranku aku bertanya pada nenek.
“Nek. Mas Irsyad kok belum balik ya?”
“Iya, Irsyad itu tinggal di sini
sampai kuliahnya tiba.”
“O…gitu ya. Kalau gitu Syifa ke kamar
ya.”
Apa! Irsyad tinggal di sini. Batal
deh kata nyaman dan damai untuk rumah ini. Kenapa harus tinggal di sini sih.
Rumah ini pasti kaya’ neraka deh.
“Fa, nenek minta tolong ya. Bawa
kambing-kambing nenek ke lapangan dekat sungai.”
“Apa
nek, kenapa harus aku sih”
“Menurutku lakuain aja deh. Ga’ mau
kan jadi cucu durhaka. Kalau aku pasti bakal lakuin.”
“Ya sudah kamu aja Syad. Kamu kan
laki-laki lebih pantas.”
“Ga’ nek, kan tadi nenek nyuruf
Syifa.”
“Ih…bener kata nenek, kamu lebih
pastes.”
“Udah! Kalian apa-apaan malah
berantem. Kalian berdua menggembala, jangan berantem. Pokoknya nenek ga’ mau
tau.”
Kami pun menuju lapangan yang nenek
maksud. Tempat ini cukup iindah dan sejuk. Hawa dingin masih menerobos kulitku.
Maklumlah tadi pagi baru hujan. Rumput-rumput yang hijau tumbuh dengan subur
sedikit basah sisa hujan kemarin. Pas sekali untuk menggembalakan ternak
penduduk kampong. Aku duduk di salah satu pohon yang bisa dibilang rindang
bersama mas Irsyad. Tiba-tiba salah satu kambing lepas dan berlari. Kami
langsung mengejarnya. Hingga mas Irsyad jatuh di salah satu kubangan Lumpur.
“Huaua hahahaha ga’ apa pa mas.”
“Diam! Cepet kejar kambingnya.”
“Iya iya…huh dasar kambing jelek.
Nyusahin aja, sini kamu, awas kalau ketangkap!”
“Kalau gitu caranya, kambingnya malah
takut. Kambing…tolong bantuin kita ya, jangan lari-lari, ayo sini.”
Benar saja, ta’ lama kemudian kambing
itu menjadi jinak dan kembali makan rumput.”
“Lain kali, jangan marah-marah sama
kambing yang lagi ngamuk.”
“Ya, dasar pawing kambing.”
“Dibilangin malah ngatain, dasar
nenek sihir.”
“Dasar pawing kambing yang saying
banget sama kambingnya, sampai-sampai mirip sama kambing. Liat aja badannya
kotor, mukanya cemong-cemong…hih!!”
‘Oh! Ni ta’ kasih, masih kurang karma
aku baik aku tambahin.” Mas Irsyad melururiku dengan Lumpur.
“Apa pa’an sih kotor kan. Kamu tau
ga’ rumah nenek ngga’ ada air. Bersihin dimana coba!”
“Ha…haha, impas kan. Kalau mau
bersiin di sungai tu.”
“Nggak bakalan! Kamu aja sana.”
“Emang aku mau ke sungai, daripada
badanku kotor.”
Terpaksa aku ikut bersihin badan di
sungai. Aku balas Irsyad dengan menyembunyikan bajunya. Ternyata aku ketahuan.
Langsung saja dia menarikku dan mendorongku ke sungai. Aku langsung marah-marah
ke dia. Hampir saja aku mati ngga’ bisa nafas. Akhirnya kami saling
menyiratkkan air.
Saat pulang sekolah, om belum juga
menjemput. Padahal hari sudah sore. Kulihat
sosok yang mirip dengan Irsyad. Tapi itu kan ga’ mungkin. Ngapain dia di
sini. Setelah dekat, memang benar dia Irsyad.
“Ngapain mas disini?, jangan bilang
mas jemput aku.”
“Maaf ya mbak, om lagi ada tamu
penting. Jadi terpaksa aku jemput kamu. Kalau memang kamu jalan kaki sejauh 8
km terserah.”
“Iya ya aku ikut. Tapi jujur aku sama
skali ga’ suka di bonceng ama kamu. Ini semua karena langit mendung. Kalau
ngga’, aku milih jalan kaki.”
Benar saja, hujan turun dengan
lebatnya. Kami terus menerjang tetes-tetes air ang menjadi do’a penduduk.
Tiba-tiba motor kami mogok. Dengan kondisi basah kuyub kami menuju warung kecil
di dekat tambal ban tersebut. Aku kedinginan sekali, hingga badanku menggigil.
Mengetahui hal tersebut Irsyad memberikan jaket dan memesankan the hangat.
Sampai di rumah, tak kulihat satu
oragpun. Kepalaku terasa pusing. Telingaku mendenging. Aku tak dapat bereaksi
walaupun dapat mendengar seseorang memanggilku. Rasanya semua gelap, suram.
Duniaku menghitam dalam sekejap.
Aku terbangun mendapati terbaring di
tempat tidur. Ku lihat wajah mas Irsyad yang tampak kawatir dan merasa
bersalah. Ku cium aroma minyak kayu putih di hidungku.
“Kamu Ngga’ apa pa kan?”
“Yes, I’am alright. Don’t worry.”
“Tapi tadi kamu pingsan”
“Sekarang aku sudah baikan. Aku masak
dulu ya, udah sore aku yakin mas belum makan. Iya kan?”
Aku menuju dapur dan mencari
bahan-bahan yang mungkin bisa kumasak. Setelah selesai, salah satu kwali jatuh
karena keteledoranku. Kepalaku terasa sakit dan ternyata benjol dan berdarah.
Aku langsung berteriak dan Irsyad datang untuk menolong.
“ati-ati dong, dah aku bilang
istirahat aja.”
“mas kawatir sama aku?”
Ya kawatir, kawatir sama kwalinya
pecah kan. Coba kalau nenek tahu, bisa marah kan.”
Bodoh! Dalam hati aku mengutuk diriku.
Ga’ mungkin mas Irsyad kawatir ma aku. Ke PD an banget. Tapi Irsyad baik juga,
buktinya dia mau merawat aku. Tanpa sadar senyum kecil tersungging di bibirku.
“Lukanya udah bersih, sekarang ayo
makan dulu. Ni aku suapin.”
“Apa an sih kaya anak kecil aja.”
“Udah makan aja.” Tak sengaja
mangkuknya mengenai jidatku. Langsung saja kupukul kepala mas Irsyad.
“Aw…sakit tau, seenaknya mukul kepala
orang.”
“Abis mas, jidat udah benjol, tadi
abis pingsan, sekarang dijedotin ke mangkuk.” Matau mulai berkaca-kaca dan
akhirnya cairan bening menetes dari sudut mataku.
“Tega banget sih, sakit tau…”
“Maaf ya aku ngga’ sengaja, kamu
sendiri tau kan. Maafin ya!”
“Iya, tapi jangan
diulangi..hu..hu..hu…hik…hik…hik…”
“Ya udah makan sendiri aja ya, abis
itu tidur.”
Setelah kejadian itu aku selalu
trbayang-bayang wajah mas Irsyad. Saat merawatku, dilapangan semua selalu
menghantuiku. Wajahnya udah kaya setrikaan, mondar-mandir aja di pikiranku.
Akhir-akhir ini aku juga salah tingkah di depan mas Irsyad. Jangankan ngobrol, ngliat
matanya aja aku ga’ berani. Aduh…knapa aku jadi kaya’ gini sih, kenapa
perasaanku aneh gini. Masa aku…ga’ dia kakaku. Mungkin itu pengaruh waktu
kecil. Ya, dulu kami selalu bersama. Hingga aku suka dia. Tapi kenapa harus ke
bawa sampai gede sih.
…Terukir indah raut wajahmu,
Dalam benakkuBerharap kau cinta
terakhir
Dan hanya untukku
Terttulis indah puisi cinta dalam
hatiku
Karna ku yakin kau memanglah pilihan
hatiku
Pilihan hati Livina semakin membuat
perasaanku memuncak, dan membat perasaanku tak karuan.
Suatu malam aku merasakan begitu haus
dan tenggorokanku terasa kering. Melihat keadaan sekitar yang begitu gelap
nyaliku menjadi ciut. Apalagi tadi pagi ada tetanggaku yang meninggal. Karena
rasa haus yang sudah tak tertahankan lagi, ku coba untuk hempaskan rasa
takutku. Ku telusuri lorong-lorong menuju dapur yang begitu gelap. Akhirnya
sampai juga, ku tenggak segelas air yang cukup menyejukkan ini.
“Hw…belum sempat aku berteriak
mulutku telah dibungkam seseorang.”
“Mas Irsyad! Ngapain malam-malam
ngendap-ngendap udah kaya maling aja.”
“Jangan keras-keras, inget udah
malem. Kamu pingin orang sekampung pada bangun, dasar penakut.”
“Apa?”
“Penakut, iya kan kamu tadi
ketakutan. Pake’ bilang aku maling segala.”
“Siapa bilang, so’ tau banget!”
“Sini ikut aku.”
“Mau ngapain?” Ku ikuti mas Irsyad
yang menuju belakang rumah.”
“Diam, liat di atas ada apaan?”
“Se..setan ya?” jangan bercanda deh
mas.”
“Ih suruh liat malah ngomongin
setan.”
“Ya ya.. ada bintang.”
“Indah baget ya. Bagi intan yang
bertaburan.”
“Ya sih mas, tapi bau banget. Kenapa
harus di deket kandang sih, kaya ga’ ada tempat lain aja.”
“Biar sapi-sapi dan kambing menjadi
saksi…”
“Ko’ sapi sih! Mas ga’ bisa manfaatin
moment banget, ada bintang, bulan kenapa ga’ pakek mereka aja sih.”
“Dengerin ngapa? Sapi sama kambing
itu paling deket ma kita. Kalau pakek bulan bintang kan jauh, sapid an
kambingnya marah gimana?”
Aku hanya terheran-heran mendengar
pernyataan yang begitu nonsen itu.
“Ini kan masih dalam suasana lebaran,
aku minta maaf kalau ada salah.”
“Cuma itu? Aku maafin aku juga minta
maaf ya.” ku pergi meninggalkan kakaku.
“Tunggu…Sya aku suka kamu.”
Pernyataan yang sanggup membuat
jantungku meledak. Ya Tuhan kenapa aku seneng banget. Walaupun di dukung dengan
suasana yang ga’ romantis, disaksikan sapid an kambing nenek. Setan apa yang
berhasil meracuni kami hingga terperagkap dalam cinta seperti ini Kulupakan
bahwa aku dan mas Irsyad adalah saudara. Namun aku juga suka sama mas Irsyad.
Akhirnya kami pacaran walaupun tanpa sepengetahuan keluarga. Aku merasa bahagia
sekali, walaupun ta’ tau apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Delapan bulan sudah kami berpacaran.
Canda tawa selalu menghiasi lembaran-lembaran kami. Hingga suatu hari kakek dan
nenek mengetahui semua. Aku sangat takut dimarahi, tapi aku takut kalau harus
berpisah dengan mas Irsyad. Benar saja nenek dan kakek menyuruh orang tuaku dan
mas Irsyad kemari. Mereka membicarakan jalan keluar masalah kami. Akhirnya aku
dikembalikan ke sekolahku yang dulu. Bersama aktifitas pesantren. Sedangkan Irsyad
kembali ke Bogor untuk mengurus paspor ke Singapura. Dia akan kuliah di sana,
meninggalkanku bersama dengan bayanganku.
Setahun kujalani dengan sendiri.
Seulas senyum getir terukir. Ingatanku selalu berujung pada Irsyad. Oh Tuhan,
apa ini jalan yang kau berikan, mencintai orang yang menjadi saudaraku. Aku
akan berusaha menghapus semua kenangan bersama Irsyad. Walauku tak tau kapan
itu terjadi.
SELESAI