Monday, May 5, 2014

Novel Remaja: My Love Is Big Wrong



Aisyifa Nur Laila adalah namaku. Leganya hatiku bisa terbebas dari penjara yang bernama pesantren. Semua kulaui dengan damai dan tentram. Duniaku seakan lebih indah. Ya kini aku tinggal di Jawa Tengah bersama nenek yang memanjakanku. Tempat yang begitu indah dan sejuk. Hingga suatu saat aku harus mengalami peristiwa yang ta’ tau harus dibilang baik atau buruk untukku, mencintai kakak keponakanku. Mungkinkah kami dapat bersama ataukah berpisah? Penasaran? Simak terus ceritanya ya…







A
khirnya!
Aku menyeret kardus terakhir yang berisi buku-buku pelajaran. Setia Keringat yang mengalir deras di dahiku. Sejak tadi pagi aku telah sibuk membereskan dan memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. And now, aku merasa lebih lega. Suasana kamarku telah berubah lebih menyenangkan. Aku senang telah memilih nuansa biru muda untuk kamarku ini, terasa lebih sejuk dan menyenangkan. Tempat tidur meja rias, rak buku-buku…tapi sepertinya ada yang kurang. Aha! Dinding kamar , aku belum menghiasinya.
Sambil menghela nafas kuseret kardus yang berisikan kaligrafi-kaligrafi hasil karyaku. Kuambil kaligrafi yang bertuliskan “Bismillahirrohma nirrohim”, kaligrafi yang menjadi favoritku, yang membuatku menjadi juara 1 dalam lomba kaligrafi yang cukup bergengsi. Mengingatnya membuatku tersenyum bangga.
Asyifa Nur laila, itulah nama yang diberikan orang tuaku. Baru 2 hari ini aku menempati kamar ini, ya..di rumah nenekku. Sebelumnya aku tinggal bersama orang tuaku. Abi adalah seorang ketua di sebuah pesantren sedangkan Umi adalah ustadzah di pesantren tersebut. Jadi tak heran kalau mereka disiplin sekali dalam masalah agama, bahkan  terlalu berlebihan menurutku. Terkadang aku bosan dengan agama. Pernah dulu aku mencoba melawan, alhasil aku diceramahi, di dahlih selama berjam-jam dan akhirnya dikurung di gudang.
Huh!
But now I’am here. Di rumah nenek yang akau sayangi.
“Syifa? tiba-tiba nenek memasuki kamarku dan mengacaukan lamunanku.
“I…iya nek, ada apa?”
“Kok malah ngelamun, nenek dah siapin makanan kesukaanmu. Ayo makan dulu!”
“Ntar dulu nek, nunggu selesai beres-beres”
“Ya udah, nenek mau ke kebun nyusul kakekmu.” My grandma berangkat menyusul sang suami dengan membawa rantang makanan, yang aku pastikan isinya adalah nasi dan lauk. Hmm…so sweat, aku harap di masa tua nanti aku dan suamiku bisa seperti mereka. He..he..he…(masih lama pastinya).
Hari-hari ku lalui dengan santai , nggak sepadat dulu. Ya iyalah dulu hamper seluruh hari-hariku dipenuhi dengan mengaji. Sekarang, nggak ada ngaji, tapi untuk sholat…I can’t forget! Ya emangsih, agak molor.
Karena aku pindah tempat tinggal, pastinya pindah sekolah juga dong. SMK Harapan Bangsa, karena dulu aku sekolah di SMK nerusinnya juga di SMK. Suasana  sekolah ini ga’ jauh beda sama sekolahku dulu. Hanya saja, disini lebih sejuk. Ya iya lah namanya juga di pegunungan, jadi banyak pohonnya. Untuk ke sekolah aku diantar jemput sama om ku yang bisa dibilang galak banget.
Di sekolah ini juga aku mendapat sahabat baru, Laras dan Haris. Mereka teman yang baik, pengertian, ramah, suka menolong (Hayyo! Yang namnya Laras dan Haris jangan besar kepala ya!!!) apalagi Laras, dia adalah satu-satunya tempat untuk mencurahkan semua problemku. Hingga suatu hari, Haris menyatakan suatu hal yang ngga’ ku sangka.
“Fa, sebenarnya aku suka dan saying sama kamu, maukah engkau menjadi orang yang special di di hidupku?”
Aku kaget setengah mati, bak tersambar petir yang begitu dahsyat. Gimana ngga’, orang yang selam ini aku anggap sebagai sahabat nyatain suka. Ck…ck…ck. Dengan ragu-ragu aku katakana.
“I’am Sorry, I can’t.”
Ragu-ragu bukan berarti aku suka sama dia, aku Cuma takut kalau dia tersinggung. Aku kan ga’  punya perasaan apapun ke dia, lagian aku juga tergolong masih kecil, belum cukup umur.
Mengalami hal tersebut, membuatku teringat dulu. Saat aku sedang berbincang-bincang sama salah satu anak pesantren (cowo’ pastinya). Tiba-tiba dia memanggil dan aku dimarahin abis-abisan. Na’as banget ya nasibku, padahal aku Cuma ngobrolin masalah sekolah.
Kembali ke sekarang, semenjak peristiwa penolakan itu, Haris selalu menghindar dari aku. Setiap ngeliat aku, dia selalu pergi menghindar. Sebenarnya aku ga’ pingin dia seperti ini, tapi kalau emang dia maran dan benci ma aku “whatever-lah, emamng gw pikirin.”
Sebulan sudah aku tinggal di rumah nenek dan 26 hari aku dan umat muslim lainnya menjalankan puasa. Bentar lagi lebaran dan semua anak cucu nenek datang. Benar juga, keesokan harinya pa’dhe Iman beserta anak istrinya datang. Mereka datang dengan membawa mobil yang penuh bawaan dan oleh-oleh. Alhasil, aku ikut membantu.
“Syifa, gimana kabarnya? Bener kamu tinggal di sini sekarang?” dengan logat sunda pa’dhe bertanya.
“Iya dhe. Alhamdulillah baik, pa’dhe sendiri?”
“Baik, Umi sama Abimu kapan ke sini?”
“Mungkin 2-3 hari lagi. Lho budhe Aminah ga’ bareng, tumben banget.”
“Iya, dia lagi ada pesenan roti banyak banget. Mungkin besok dia datang naik travel”
Diantara anak-anak kakek nenek, Pa’dhe Imanlah yang paling berhasil. Beliau menjadi PNS di bagian perpajakan. Perbincangan kami berlangsung hangat, banyak sekali yang kami bicarakan. Apalagi dengan mas Bagus, dia sepantaran denganku dan juga sekolah di SMK tapi beda jurusan. Tak terasa malam telah larut, jadi kami memutuskan untuk istirahat.
Keesokan harinya budhe Aminah datang bersama salah satu anaknya, “Mas Irsyad.”
“Selamat datang budhe” sapaku padanya.
“Hei! Irsyad bawa masuk semua barang-barangnya”
“Ya Umi”
“Mbak Erni ga’ ikut budhe?”
“Ngga’, ga’ punya ongkos, lagian dia lagi sibuk ngurusin kuliahnya.”
“O…gitu tho.”
Aku merasa aneh dan asing sekali dengan Mas Irsyad. Maklumlah 8 tahun kita ga’ ketemu. Banyak hal yang berubah darinya. Penampilannya tinggi, tambah putih.
“Mas, sekarang mas kelas berapa?”dengan logat Sunda.
“Aku, dah ga’ sekolah.”
“Bo’ong.”
“Ih beneran, kamu ma ga’ percayaan. Aku udah lulus”
“Mau nerusin kuliah ya”.
“Yup! Tahun depan.”
Ni orang, balik Tanya kek, masa dari tadi aku yang Tanya. Dia pikir dia artis, yang sellau diwawancarai sana-sini. Dasar sombong.
Pagi harinya, aku benar-benar bosan. Ga’ ada yang bisa aku ajak ngobrol. Coba ada ngak Erni, pasti aku ga’ kesepian. Semua orang pada sibuk ma urusan sendiri. Nenek, kakek, budhe, om dan anak-anak cowo’ malah keasyikan main PS, sedangkan mbak Alya masih SD kelas 1 pula. Aku heran kenapa mayoritas anak cowo’ suka main PS. Apa coba untungnya? Tambah kaya? Tambah ganteng? Atau tambah pinter? Ngga’ deh, justru Cuma menghabiskan waktu, tenaga plus uang.
“Irsyad! Main PS mulu dari tadi pagi sampek sekarang ga’ berhenti-berhenti.”
“Kan hiburan Umi, disini suasananya ngebosenin.”
“Umi ga’ perduli, matiin PSnya.” Lalu menuju dapur.
“apa liat-liat! Ga’ pernah liat orang ganteng.”
“PD banget, ganteng dar mana dari utan.”
Sahutku dengan penuh emosi. Seenaknya dia aja marah-marah ke aku. Dia piker siapa coba.
Selamat hari Lebaran, Minal aidin wal fa’idzin. Lebaran telah tiba, keluarga besar kami saling bermaaf-maafan. Saling memberi dan minta maaf. Termasuk akau. Tapi untuk minta maaf sama mas irsyad, NO WAY!!! Harusnya dia yang minta maaf, ya ngga’??
Sehari setelah lebaran, semua sanak famili kembali ke rumah. Leganya, aku bisa santai lagi dan tenang di rumah. Lho bukannya itu mas Irsyad. Budhe Aminah kan udah kembali ke Bogor. Untuk menghilangkan penasaranku aku bertanya pada nenek.
“Nek. Mas Irsyad kok belum balik ya?”
“Iya, Irsyad itu tinggal di sini sampai kuliahnya tiba.”
“O…gitu ya. Kalau gitu Syifa ke kamar ya.”
Apa! Irsyad tinggal di sini. Batal deh kata nyaman dan damai untuk rumah ini. Kenapa harus tinggal di sini sih. Rumah ini pasti kaya’ neraka deh.
“Fa, nenek minta tolong ya. Bawa kambing-kambing nenek ke lapangan dekat sungai.”
“Apa  nek, kenapa harus aku sih”
“Menurutku lakuain aja deh. Ga’ mau kan jadi cucu durhaka. Kalau aku pasti bakal lakuin.”
“Ya sudah kamu aja Syad. Kamu kan laki-laki lebih pantas.”
“Ga’ nek, kan tadi nenek nyuruf Syifa.”
“Ih…bener kata nenek, kamu lebih pastes.”
“Udah! Kalian apa-apaan malah berantem. Kalian berdua menggembala, jangan berantem. Pokoknya nenek ga’ mau tau.”
Kami pun menuju lapangan yang nenek maksud. Tempat ini cukup iindah dan sejuk. Hawa dingin masih menerobos kulitku. Maklumlah tadi pagi baru hujan. Rumput-rumput yang hijau tumbuh dengan subur sedikit basah sisa hujan kemarin. Pas sekali untuk menggembalakan ternak penduduk kampong. Aku duduk di salah satu pohon yang bisa dibilang rindang bersama mas Irsyad. Tiba-tiba salah satu kambing lepas dan berlari. Kami langsung mengejarnya. Hingga mas Irsyad jatuh di salah satu kubangan Lumpur.
“Huaua hahahaha ga’ apa pa mas.”
“Diam! Cepet kejar kambingnya.”
“Iya iya…huh dasar kambing jelek. Nyusahin aja, sini kamu, awas kalau ketangkap!”
“Kalau gitu caranya, kambingnya malah takut. Kambing…tolong bantuin kita ya, jangan lari-lari, ayo sini.”
Benar saja, ta’ lama kemudian kambing itu menjadi jinak dan kembali makan rumput.”
“Lain kali, jangan marah-marah sama kambing yang lagi ngamuk.”
“Ya, dasar pawing kambing.”
“Dibilangin malah ngatain, dasar nenek sihir.”
“Dasar pawing kambing yang saying banget sama kambingnya, sampai-sampai mirip sama kambing. Liat aja badannya kotor, mukanya cemong-cemong…hih!!”
‘Oh! Ni ta’ kasih, masih kurang karma aku baik aku tambahin.” Mas Irsyad melururiku dengan Lumpur.
“Apa pa’an sih kotor kan. Kamu tau ga’ rumah nenek ngga’ ada air. Bersihin dimana coba!”
“Ha…haha, impas kan. Kalau mau bersiin di sungai tu.”
“Nggak bakalan! Kamu aja sana.”
“Emang aku mau ke sungai, daripada badanku kotor.”
Terpaksa aku ikut bersihin badan di sungai. Aku balas Irsyad dengan menyembunyikan bajunya. Ternyata aku ketahuan. Langsung saja dia menarikku dan mendorongku ke sungai. Aku langsung marah-marah ke dia. Hampir saja aku mati ngga’ bisa nafas. Akhirnya kami saling menyiratkkan air.
Saat pulang sekolah, om belum juga menjemput. Padahal hari sudah sore. Kulihat  sosok yang mirip dengan Irsyad. Tapi itu kan ga’ mungkin. Ngapain dia di sini. Setelah dekat, memang benar dia Irsyad.
“Ngapain mas disini?, jangan bilang mas jemput aku.”
“Maaf ya mbak, om lagi ada tamu penting. Jadi terpaksa aku jemput kamu. Kalau memang kamu jalan kaki sejauh 8 km terserah.”
“Iya ya aku ikut. Tapi jujur aku sama skali ga’ suka di bonceng ama kamu. Ini semua karena langit mendung. Kalau ngga’, aku milih jalan kaki.”
Benar saja, hujan turun dengan lebatnya. Kami terus menerjang tetes-tetes air ang menjadi do’a penduduk. Tiba-tiba motor kami mogok. Dengan kondisi basah kuyub kami menuju warung kecil di dekat tambal ban tersebut. Aku kedinginan sekali, hingga badanku menggigil. Mengetahui hal tersebut Irsyad memberikan jaket dan memesankan the hangat.
Sampai di rumah, tak kulihat satu oragpun. Kepalaku terasa pusing. Telingaku mendenging. Aku tak dapat bereaksi walaupun dapat mendengar seseorang memanggilku. Rasanya semua gelap, suram. Duniaku menghitam dalam sekejap.
Aku terbangun mendapati terbaring di tempat tidur. Ku lihat wajah mas Irsyad yang tampak kawatir dan merasa bersalah. Ku cium aroma minyak kayu putih di hidungku.
“Kamu Ngga’ apa pa kan?”
“Yes, I’am alright. Don’t worry.”
“Tapi tadi kamu pingsan”
“Sekarang aku sudah baikan. Aku masak dulu ya, udah sore aku yakin mas belum makan. Iya kan?”
Aku menuju dapur dan mencari bahan-bahan yang mungkin bisa kumasak. Setelah selesai, salah satu kwali jatuh karena keteledoranku. Kepalaku terasa sakit dan ternyata benjol dan berdarah. Aku langsung berteriak dan Irsyad datang untuk menolong.
“ati-ati dong, dah aku bilang istirahat aja.”
“mas kawatir sama aku?”
Ya kawatir, kawatir sama kwalinya pecah kan. Coba kalau nenek tahu, bisa marah kan.”
Bodoh! Dalam hati aku mengutuk diriku. Ga’ mungkin mas Irsyad kawatir ma aku. Ke PD an banget. Tapi Irsyad baik juga, buktinya dia mau merawat aku. Tanpa sadar senyum kecil tersungging di bibirku.
“Lukanya udah bersih, sekarang ayo makan dulu. Ni aku suapin.”
“Apa an sih kaya anak kecil aja.”
“Udah makan aja.” Tak sengaja mangkuknya mengenai jidatku. Langsung saja kupukul kepala mas Irsyad.
“Aw…sakit tau, seenaknya mukul kepala orang.”
“Abis mas, jidat udah benjol, tadi abis pingsan, sekarang dijedotin ke mangkuk.” Matau mulai berkaca-kaca dan akhirnya cairan bening menetes dari sudut mataku.
“Tega banget sih, sakit tau…”
“Maaf ya aku ngga’ sengaja, kamu sendiri tau kan. Maafin ya!”
“Iya, tapi jangan diulangi..hu..hu..hu…hik…hik…hik…”
“Ya udah makan sendiri aja ya, abis itu tidur.”
Setelah kejadian itu aku selalu trbayang-bayang wajah mas Irsyad. Saat merawatku, dilapangan semua selalu menghantuiku. Wajahnya udah kaya setrikaan, mondar-mandir aja di pikiranku. Akhir-akhir ini aku juga salah tingkah di depan mas Irsyad. Jangankan ngobrol, ngliat matanya aja aku ga’ berani. Aduh…knapa aku jadi kaya’ gini sih, kenapa perasaanku aneh gini. Masa aku…ga’ dia kakaku. Mungkin itu pengaruh waktu kecil. Ya, dulu kami selalu bersama. Hingga aku suka dia. Tapi kenapa harus ke bawa sampai gede sih.
…Terukir indah raut wajahmu,
Dalam benakkuBerharap kau cinta terakhir
Dan hanya untukku
Terttulis indah puisi cinta dalam hatiku
Karna ku yakin kau memanglah pilihan hatiku
Pilihan hati Livina semakin membuat perasaanku memuncak, dan membat perasaanku tak karuan.
Suatu malam aku merasakan begitu haus dan tenggorokanku terasa kering. Melihat keadaan sekitar yang begitu gelap nyaliku menjadi ciut. Apalagi tadi pagi ada tetanggaku yang meninggal. Karena rasa haus yang sudah tak tertahankan lagi, ku coba untuk hempaskan rasa takutku. Ku telusuri lorong-lorong menuju dapur yang begitu gelap. Akhirnya sampai juga, ku tenggak segelas air yang cukup menyejukkan ini.
“Hw…belum sempat aku berteriak mulutku telah dibungkam seseorang.”
“Mas Irsyad! Ngapain malam-malam ngendap-ngendap udah kaya maling aja.”
“Jangan keras-keras, inget udah malem. Kamu pingin orang sekampung pada bangun, dasar penakut.”
“Apa?”
“Penakut, iya kan kamu tadi ketakutan. Pake’ bilang aku maling segala.”
“Siapa bilang, so’ tau banget!”
“Sini ikut aku.”
“Mau ngapain?” Ku ikuti mas Irsyad yang menuju belakang rumah.”
“Diam, liat di atas ada apaan?”
“Se..setan ya?” jangan bercanda deh mas.”
“Ih suruh liat malah ngomongin setan.”
“Ya ya.. ada bintang.”
“Indah baget ya. Bagi intan yang bertaburan.”
“Ya sih mas, tapi bau banget. Kenapa harus di deket kandang sih, kaya ga’ ada tempat lain aja.”
“Biar sapi-sapi dan kambing menjadi saksi…”
“Ko’ sapi sih! Mas ga’ bisa manfaatin moment banget, ada bintang, bulan kenapa ga’ pakek mereka aja sih.”
“Dengerin ngapa? Sapi sama kambing itu paling deket ma kita. Kalau pakek bulan bintang kan jauh, sapid an kambingnya marah gimana?”
Aku hanya terheran-heran mendengar pernyataan yang begitu nonsen itu.
“Ini kan masih dalam suasana lebaran, aku minta maaf kalau ada salah.”
“Cuma itu? Aku maafin aku juga minta maaf ya.” ku pergi meninggalkan kakaku.
“Tunggu…Sya aku suka kamu.”
Pernyataan yang sanggup membuat jantungku meledak. Ya Tuhan kenapa aku seneng banget. Walaupun di dukung dengan suasana yang ga’ romantis, disaksikan sapid an kambing nenek. Setan apa yang berhasil meracuni kami hingga terperagkap dalam cinta seperti ini Kulupakan bahwa aku dan mas Irsyad adalah saudara. Namun aku juga suka sama mas Irsyad. Akhirnya kami pacaran walaupun tanpa sepengetahuan keluarga. Aku merasa bahagia sekali, walaupun ta’ tau apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Delapan bulan sudah kami berpacaran. Canda tawa selalu menghiasi lembaran-lembaran kami. Hingga suatu hari kakek dan nenek mengetahui semua. Aku sangat takut dimarahi, tapi aku takut kalau harus berpisah dengan mas Irsyad. Benar saja nenek dan kakek menyuruh orang tuaku dan mas Irsyad kemari. Mereka membicarakan jalan keluar masalah kami. Akhirnya aku dikembalikan ke sekolahku yang dulu. Bersama aktifitas pesantren. Sedangkan Irsyad kembali ke Bogor untuk mengurus paspor ke Singapura. Dia akan kuliah di sana, meninggalkanku bersama dengan bayanganku.
Setahun kujalani dengan sendiri. Seulas senyum getir terukir. Ingatanku selalu berujung pada Irsyad. Oh Tuhan, apa ini jalan yang kau berikan, mencintai orang yang menjadi saudaraku. Aku akan berusaha menghapus semua kenangan bersama Irsyad. Walauku tak tau kapan itu terjadi.

SELESAI

No comments:

DUNIA TANPA UANG TUNAI

Dalam era digital ini kita bisa membeli barang-barang kebutuhan kita tanpa uang tunai, baik secara online via transfer ATM, kartu kred...